Puber Kedua
Istilah "puber" berasal dari kata "pubes" yang artinya rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan. Kondisi ini dialami oleh anak berusia belasan tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Puber kedua adalah kondisi dimana terdapat kesamaan perilaku seperti yang dialami anak-anak yang memasuki masa puber, seperti lebih memperhatikan penampilan, lebih memperhatikan lawan jenis, dan sebagainya.
Puber kedua dialami oleh pria maupun wanita yang memasuki usia 40 tahun ke
atas. Gejala yang timbul pada pria saat memasuki puber kedua adalah :
Enggan tampil tua. Mereka mulai memperhatikan penampilannya maupun
keindahan tubuhnya. Rambutnya disemir ala anak muda, bergaya gaul,
memodifikasi mobilnya menjadi ceper, dan sebagainya.
Mereka juga mulai senang kembali berpetualang. Mulai dari dari naik motor
jarak jauh, sampai keluar masuk diskotek.
Produktivitas hidup meningkat. Banyak ditemui bahwa mereka semakin mahir
bernegosiasi, semakin maju bisnisnya, maupun semakin memukau karirnya.
Sedangkan pada wanita, gejala yang muncul adalah :
Terganggu atau berhentinya proses menstruasi (terjadi menopause). Hal ini
terjadi karena gonadotrop tidak diproduksi lagi oleh kelenjar
hypophysc. Efek yang terjadi adalah pusing, lesu, dan kurang bergairah.
Akibatnya kestabilan emosi sering terganggu.
Timbunan lemak menyusut sehingga kulit mulai keriput, bahkan buah dada
mulai berubah bentuk. Rambutpun mulai memutih. Keadaan ini akan berpengaruh
pada kejiwaannya. Apalagi jika suami memandang hal itu sebagai suatu
kemunduran.
Setiap orang akan mengalami fase puber kedua ini. Karena itu perlu persiapan
yang cukup matang untuk memasuki fase krisis ini. Di sinilah komitmen perkawinan
kembali teruji. Komunikasi dan pengertian memegang peran yang sangat penting
bagi pasangan yang mulai memasuki masa puber kedua ini. Kondisi yang berbeda
antara suami dan istri sering kali memicu konflik di antara mereka berdua. Suami
semakin bersemangat dalam banyak hal, sedangkan istri semakin lesu dan kurang
bergairah. Bila terjadi komunikasi yang baik di antara pasangan yang memasuki
masa ini, maka masalah krisis kedua ini akan dapat diselesaikan dengan baik.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk melewati masa puber kedua dengan baik
adalah:
Bertamasya berdua tanpa diganggu oleh kehadiran anak
Memberikan kejutan seperti candle light dinner, membelikan barang yang
sedang diinginkan pasangan, dan sebagainya
Membuka kembali album foto kenangan bersama-sama
Menonton bioskop berdua saja
Dan sebagainya
Dengan demikian diharapkan pasangan yang memasuki masa puber kedua dapat
melewatinya dengan baik dan memasuki usia senja dengan bahagia.
Kenakalan Remaja
Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ?
Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah
tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana
yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks
bebas ? Apa yang salah dari semua ini ?
Seperti yang sudah diulas dalam artikel lain di situs ini, remaja adalah
mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun. Remaja akan mengalami periode
perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :
Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari
kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan
dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja,
yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ
seksual serta organ-organ reproduksi remaja. Di samping itu, perkembangan
intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini. Akibatnya,
remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu
segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun
pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya
baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan
diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut,
gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan
keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan
mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh
orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak
kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai
dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua
yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang
menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain
selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk
bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan
teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman
karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang
selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan
keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu
memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu,
remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah
yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele,
tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat. Orang tua tidak
boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan hal kecil. Masa kamu tidak bisa
menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !", dan sebagainya. Tetapi perhatian
seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah itu berat sekali bagi remajanya,
akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang tuanya adalah jalan keluar ang
terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua untuk mengarahkan perkembangan
psikis anaknya.
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik
mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya,
sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi.
Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan
hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat
muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi
yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah
yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang
tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang
seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis
mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan
terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan
remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya
tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh
perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka
bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu
ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung
dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan
pikirannya sendiri.
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan
dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga
bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini
berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih
singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih
cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas
mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai
sepenuhnya.
Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik
segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal
yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran
mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada
menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti
cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta
sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.
Kenakalan remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam
menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada
masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat,
dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara
psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak
terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya.
Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan
tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan,
seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang
tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh
keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya
proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus
diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan,
dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.
Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua
sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya.
Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga
memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk
menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai
pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu
mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
Pengaruh Musik pada Anak
Penelitian membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emotional Quotien). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Yang dimaksud musik di sini adalah musik yang memiliki irama teratur dan nada-nada yang teratur, bukan nada-nada "miring". Tingkat kedisiplinan anak yang sering mendengarkan musik juga lebih baik dibanding dengan anak yang jarang mendengarkan musik.
Grace Sudargo, seorang musisi dan pendidik mengatakan, "Dasar-dasar
musik klasik secara umum berasal dari ritme denyut nadi manusia sehingga ia
berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga
manusia".
Penelitian menunjukkan, musik klasik yang mengandung komposisi nada
berfluktuasi antara nada tinggi dan nada rendah akan merangsang kuadran C pada
otak. Sampai usia 4 tahun, kuadran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang
hingga 80 % dengan musik.
"Musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki 3 bagian penting
yaitu beat, ritme, dan harmony", demikian kata Ev.
Andreas Christanday dalam suatu ceramah musik. "Beat mempengaruhi tubuh,
ritme mempengaruhi jiwa, sedangkan harmony mempengaruhi roh".
Contoh paling nyata bahwa beat sangat mempengaruhi tubuh adalah dalam konser
musik rock. Bisa dipastikan tidak ada penonton maupun pemain dalam konser musik
rock yang tubuhnya tidak bergerak. Semuanya bergoyang dengan dahsyat, bahkan
cenderung lepas kontrol. Kita masih ingat dengan "head banger", suatu gerakan
memutar-mutar kepala mengikuti irama music rock yang kencang. Dan tubuh itu
mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Jika hati kita sedang susah, cobalah
mendengarkan musik yang indah, yang memiliki irama (ritme) yang teratur.
Perasaan kita akan lebih enak dan enteng. Bahkan di luar negeri, pihak rumah
sakit banyak memperdengarkan lagu-lagu indah untuk membantu penyembuhan para
pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa ritme sangat mempengaruhi jiwa manusia.
Sedangkan harmony sangat mempengaruhi roh. Jika kita menonton film horor, selalu
terdengar harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu kuduk kita
berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan harmony yang
membawa roh manusia masuk ke dalam alam penyembahan. Di dalam meditasi, manusia
mendengar harmony dari suara-suara alam disekelilingnya. "Musik yang baik bagi
kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme, dan
harmony", ujar Ev. Andreas Christanday.
Seorang ahli biofisika telah melakukan suatu percobaan tentang pengaruh musik
bagi kehidupan makhluk hidup. Dua tanaman dari jenis dan umur yang sama
diletakkan pada tempat yang berbeda. Yang satu diletakkan dekat dengan pengeras
suara (speaker) yang menyajikan lagu-lagu slow rock dan heavy rock, sedangkan
tanaman yang lain diletakkan dekat dengan speaker yang memperdengarkan lagu-lagu
yang indah dan berirama teratur. Dalam beberapa hari terjadi perbedaan yang
sangat mencolok. Tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu rock menjadi
layu dan mati, sedangkan tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu indah
tumbuh segar dan berbunga. Suatu bukti nyata bahwa musik sangat mempengaruhi
kehidupan makhluk hidup.
Alam semesta tercipta dengan musik alam yang sangat indah. Gemuruh ombak di
laut, deru angin di gunung, dan rintik hujan merupakan musik alam yang sangat
indah. Dan sudah terbukti, bagaimana pengaruh musik alam itu bagi kehidupan
manusia.
Wulaningrum Wibisono, S.Psi mengatakan, "Jikalau Anda merasakan hari
ini begitu berat, coba periksa lagi hidup Anda pada hari ini. Jangan-jangan Anda
belum mendengarkan musik dan bernyanyi".
Ibu
Bekerja &
Dampaknya bagi Perkembangan Anak Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja.
Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja
di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih
bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga
karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan
rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika
ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu
betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun
masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat
melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka
masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu
harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak
dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya
maka anak-anak yang akan menderita kerugian.
Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun.
Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal
yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan
orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya,
anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau
orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja.
Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak
masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian
anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan
anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan
kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.
Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu.
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap
harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu
yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus
meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya
meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi
pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya
bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.
Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur
waktu dengan bijaksana.
Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga
harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga
keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.
Memahami Post-Power Syndrome
pada Orang yang Dicintai Rudi, pemuda gagah berusia 23 tahun semakin hari semakin sebal saja melihat tingkah ayahnya. Bayangkan saja, siapa yang tidak sebal bila memiliki ayah yang sudah pensiun dan menganggur, tetapi bila berbicara selalu yang muluk-muluk. Ayahnya tak henti-hentinya bercerita tentang betapa hebatnya dia dulu ketika menjabat direktur utama dari sebuah perusahaan garmen di Surabaya. Seakan-akan dia tidak pernah sadar, bahwa cerita yang selalu diulang-ulangnya sudah puluhan kali keluar masuk telinga Rudi. Bila ditegur, ayahnya tidak bisa menerima dan menganggap Rudi belum berpengalaman atau masih bau kencur.
Bila teman-teman Rudi main ke rumah, ayahnya selalu memberikan "kuliah"
kepada teman-temannya supaya mereka mencontoh apa yang sudah dikerjakan ayahnya.
Bahkan bukan hanya di rumah, di lingkungan tetanggapun, ayah Rudi dikenal
sebagai "pengobral" cerita masa lalu yang sudah usang. Akibatnya, bukan hanya
Rudi saja yang jengkel, tetapi tetangganya yang sudah bosan mendengar cerita
ayahnya juga langsung menyingkir begitu melihat ayah Rudi datang.
Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi di mana penderita
hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya,
ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa
memandang realita yang ada saat ini. Seperti yang terjadi kepada ayah Rudi,
beliau mengalami post-power syndrome. Beliau selalu ingin mengungkapkan betapa
beliau begitu bangga akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang
luar biasa (menurutnya).
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome. Pensiun
dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang yang mendapatkan
pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah tidak dipakai
lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan
kepada perusahaan, post-power syndrom akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila
ternyata usianya sudah termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar
di perusahaan lain, post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.
Kejadian traumatik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya post-power
syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari, yang menyebabkan
kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya,
dia akan mengalami post-power syndrome. Dan jika terus berlarut-larut, tidak
mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya.
Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut
usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil
melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang
lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima
kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan
dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya
post-power syndrome yang berat semakin besar.
Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa
seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang
berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit
yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah.
Penanganan
Bila seorang penderita post-power syndrome dapat menemukan aktualisasi diri
yang baru, hal itu akan sangat menolong baginya. Misalnya seorang manajer yang
terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis
misalnya), ia akan terhindar dari resiko terserang post-power syndrome.
Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan
kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post-power
syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan keberadaannya dengan
baik akan lebih mampu melewati fase ini dibanding dengan seseorang yang memiliki
konflik emosi.
Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu penderita.
Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang dicintainya memahami dan mengerti
tentang keadaan dirinya, atau ketidak mampuannya mencari nafkah, ia akan lebih
bisa menerima keadaannya dan lebih mampu berpikir secara dingin. Hal itu akan
mengembalikan kreativitas dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu.
Akan sangat berbeda hasilnya jika keluarga malah mengejek dan selalu
menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-oloknya.
Post-power syndrome menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Kematangan
emosi dan kehangatan keluarga sangat membantu untuk melewati fase ini. Dan satu
cara untuk mempersiapkan diri menghadapi post-power syndrome adalah gemar
menabung dan hidup sederhana. Karena bila post-power syndrome menyerang,
sementara penderita sudah terbiasa hidup mewah, akibatnya akan lebih parah.
Kebohongan dan Popularitas
Psikolog dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, Robert S. Feldman menemukan adanya hubungan antara kebohongan dan popularitas di kalangan pelajar (anak muda). Penelitian yang dilakukan Robert S. Feldman ini dimuat dalam edisi terbaru Journal of Nonverbal Behavior.
"Kami menemukan bahwa kebohongan yang dilakukan oleh pelajar sebenarnya
menunjukkan bahwa pelajar tersebut memiliki kemampuan kontrol sosial yang tinggi",
demikian kata Feldman.
Feldman melakukan penelitian terhadap 32 orang tua pelajar tingkat menengah
dan atas yang berusia antara 11 hingga 16 tahun, dan memberikan kuesioner yang
berisi tentang berbagai informasi mengenai aktivitas anak-anak mereka, hubungan
sosial, serta kemampuan anak-anak mereka di sekolah. Berdasarkan atas data-data
itu, para pelajar dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki
tingkat sosialisasi yang rendah, dan kelompok yang memiliki tingkat sosialisasi
yang tinggi. Para pelajar dalam dua kelompok tersebut diminta satu persatu untuk
melakukan tes terhadap rasa yang sedap pada minuman yang manis, serta minuman
masam dan minuman yang tidak sedap. Kemudian mereka diminta untuk meyakinkan
para pengawas bahwa mereka menyukai atau tidak menyukai apa yang mereka minum.
Ini membuat para pelajar tersebut membuat satu pernyataan yang benar dan satu
pernyataan yang bohong.
Kegiatan itu direkam dalam bentuk video dan diedit secara seimbang menjadi
bagian-bagian tertentu. Kepada 48 orang mahasiswa diperlihatkan rekaman ke-64
kegiatan tes itu untuk mengevaluasi efektifitas para pelajar mengekspresikan
reaksi mereka saat mencicipi minuman yang disajikan dalam tes. Hasilnya ternyata
bertentangan dengan tes minum yang dilakukan, umur, jenis kelamin para pelajar
yang dites, dan kemampuan sosialisasi seperti yang dikatakan orang tua pra
pelajar yang menjalani tes.
"Kami ingin mendapatkan bahwa kemampuan sosialisasi yang tinggi akan membuat
seseorang lebih mudah memperdayakan orang lain, atau bahwa menjadi seorang
pembohong besar akan membuat seseorang semakin terkenal", kata Feldman.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
remaja adolesen lebih mampu melakukan kebohongan dibandingkan dengan
remaja yang lebih muda. Remaja putri juga didapati lebih bisa melakukan
kebohongan dibanding remaja pria. Pada semua tingkatan usia dan jenis kelamin,
mereka yang memiliki kemampuan sosialisasi yang lebih tinggi ternyata lebih
berpotesial untuk menjadi pembohong besar. Saat berbohong, mereka lebih mampu
mengendalikan ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, serta kontak mata.
Sedangkan mereka yang kurang bagus kemampuan sosialisasinya, mengalami banyak
kesulitan dalam mengontrol perilakunya saat berbohong.
"Penelitian ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak realistis jika kita
selalu berharap bahwa manusia akan selalu berkata jujur. Sebenarnya kita tidak
ingin menerima kenyataan ini. Anak-anak pada usia muda berpikir untuk selalu
bersopan santun dan berkata manis dalam segala situasi, meskipun sebenarnya yang
mereka katakan bukanlah suatu kejujuran yang sebenarnya. Dengan begitu, mereka
dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya, semakin mendapat tempat, dan
semakin populer", demikian kata Feldman.
Mengenal
& Membimbing
Anak Hiperaktif Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.
Inatensi
Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan
seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak
mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali
beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.
Hiperaktif
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam.
Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan
berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu,
ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada
semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali.
Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa
pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar.
Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan
menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan.
Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain
dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang
membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif
masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan,
dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul
setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa
Problem di rumah
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
Problem berbicara
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir
dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres
fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau
eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu
faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang
terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden
hiperaktif
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang
neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada
salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin
merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah
tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah
orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet
memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu,
kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan
mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan
calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga
dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara
yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada
anak kembar.
Faktor psikososial dan lingkungan
Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara
orang tua dengan anaknya.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk
mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas
Kenali kelebihan dan bakat anak
Membantu anak dalam bersosialisasi
Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan
penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib),
memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak
Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan
kelebihan energinya
Menerima keterbatasan anak
Membangkitkan rasa percaya diri anak
Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak
yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan
bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak,
dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang
contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.
Mengenal Autisme
Banyak sekali definisi yang beredar tentang apa itu Autisme. Tetapi secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil.
Schizophrenia juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik
diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri : berbicara,
tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri.
Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita
Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh
proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme
infantil terdapat kegagalan perkembangan.
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada
sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang Ibu yang sangat
cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan
sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya
atau sangat kurangnya tatap mata.
Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan
standar internasional tentang autisme. ICD-10 (International Classification
of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994
merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil yang isinya sama, yang saat
ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah :
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2
gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal
harus ada 2 dari gejala di bawah ini :
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju
Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain)
Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari
gejala di bawah ini :
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak
berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal
Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru
(3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku,
minat, dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan
Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada
gunanya
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang
monoton, kurang variatif.
Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.
Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme
ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain
yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau
hiperaktivitas.
Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat
tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2
penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal
dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih
serius, persentase kesembuhan lebih besar.
Bila Anda membutuhkan informasi yang lebih detail tentang autisme, silakan
menghubungi alamat di bawah ini :
P2GPA
Pusat Pelayanan Gangguan Perkembangan Anak Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Jl. Imam Bonjol 186 A, Semarang 50132 Telp. 024 - 554613
POPAA
Perkumpulan Orangtua Pembina Anak Autistik Jl. Erlangga Tengah III/34, Semarang Telp. 024 - 313083
Yayasan Autisma Indonesia
Jl. Buncit Raya No. 55, Jakarta Pusat Telp. 021 - 7971945 - 7991355
Mengenal Schizophrenia
Meskipun definisi yang pasti tentang Schizophrenia selalu menjadi perdebatan para ahli, terdapat indikasi yang semakin nyata bahwa Schizophrenia adalah sebuah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Dalam buku The Broken Brain : The Biological Revolution in Psychiatry yang ditulis oleh Dr. Nancy Andreasen, dikatakan bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan Schizophrenia merupakan suatu hal yang melibatkan banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik.
Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi
tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain.
Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitters
yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel
yang lain. Di dalam otak yang terserang schizophrenia, terdapat kesalahan atau
kerusakan pada sistem komunikasi tersebut.
Bagi keluarga dengan penderita schizophrenia di dalamnya, akan mengerti
dengan jelas apa yang dialami penderita schizophrenia dengan membandingkan otak
dengan telepon. Pada orang yang normal, sistem switch pada otak bekerja dengan
normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan sempurna tanpa
ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan
tindakan sesuai kebutuhan saat itu. Pada otak penderita schizophrenia,
sinyal-sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai
sambungan sel yang dituju.
Schizophrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun penderita
tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu
yang lama. Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi schizophrenia
yang tersembunyi dan berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini
bisa saja menjadi schizophrenia akut. Periode schizophrenia akut adalah gangguan
yang singkat dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi),
dan kegagalan berpikir.
Kadang kala schizophrenia menyerang secara tiba-tiba. Perubahan perilaku yang
sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak
selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat. Beberapa penderita mengalami
gangguan seumur hidup, tapi banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal
dalam periode akut tersebut. Kebanyakan didapati bahwa mereka dikucilkan,
menderita depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya
orang normal dalam lingkungannya.
Dalam beberapa kasus, serangan dapat meningkat menjadi apa yang disebut
schizophrenia kronis. Penderita menjadi buas, kehilangan karakter sebagai
manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi sama sekali, depresi,
dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya sendiri.
Para Psikiater membedakan gejala serangan schizophrenia menjadi 2, yaitu
gejala positif dan negatif.
Gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu
menginterpretasikan dan merespon pesan atau rangsangan yang datang. Penderita
schizophrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya
tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory
hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara
dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi
kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat
berbahaya, seperti bunuh diri.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam
menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya,
pada penderita schizophrenia, lampu trafik di jalan raya yang berwarna merah
kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. Beberapa
penderita schizophrenia berubah menjadi seorang paranoid. Mereka selalu merasa
sedang diamat-amati, diintai, atau hendak diserang.
Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana penderita schizophrenia
tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Kebanyakan penderita tidak mampu
memahami hubungan antara kenyataan dan logika. Karena penderita schizophrenia
tidak mampu mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara serampangan dan
tidak bisa ditangkap secara logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan
ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita
schizophrenia tertawa sendiri atau berbicara sendiri dengan keras tanpa
mempedulikan sekelilingnya.
Semua itu membuat penderita schizophrenia tidak bisa memahami siapa dirinya,
tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia. Dia juga tidak bisa
mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada, dan sebagainya.
Gejala negatif
Penderita schizophrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan
energi dan minat dalam hidup yang membuat penderita menjadi orang yang malas.
Karena penderita schizophrenia hanya memiliki energi yang sedikit, mereka tidak
bisa melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan.
Perasaan yang tumpul membuat emosi penderita schizophrenia menjadi datar.
Penderita schizophrenia tidak memiliki ekspresi baik dari raut muka maupun
gerakan tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Tapi ini tidak
berarti bahwa penderita schizophrenia tidak bisa merasakan perasaan apapun.
Mereka mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang lain, tetapi tidak
bisa mengekspresikan perasaan mereka.
Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu
menjadi bagian dari hidup penderita schizophrenia. Mereka tidak merasa memiliki
perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang lain,
dan tidak mengenal cinta. Perasaan depresi adalah sesuatu yang sangat
menyakitkan. Di samping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi andil
dalam depresi.
Depresi yang berkelanjutan akan membuat penderita schizophrenia menarik diri
dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sendirian.
Dalam beberapa kasus, schizophrenia menyerang manusia usia muda antara 15
hingga 30 tahun, tetapi serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas.
Schizophrenia bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, ras,
maupun tingkat sosial ekonomi. Diperkirakan penderita schizophrenia sebanyak 1 %
dari jumlah manusia yang ada di bumi.
Schizophrenia tidak bisa disembuhkan sampai sekarang. Tetapi dengan bantuan
Psikiater dan obat-obatan, schizophrenia dapat dikontrol. Pemulihan memang
kadang terjadi, tetapi tidak bisa diprediksikan. Dalam beberapa kasus, penderita
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keringanan gejala selalu nampak dalam 2
tahun pertama setelah penderita diobati, dan berangsur-angsur menjadi jarang
setelah 5 tahun pengobatan. Pada umur yang lanjut, di atas 40 tahun, kehidupan
penderita schizophrenia yang diobati akan semakin baik, dosis obat yang
diberikan akan semakin berkurang, dan frekuensi pengobatan akan semakin jarang.
Stres dan Penanggulangannya
Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.
Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia
berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.
Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit
yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan
berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber
dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan
keseimbangan hidup.
SUMBER STRESS
Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:
1. Krisis
Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan
keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya:
krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.
2. Frutrasi
Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan
naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha
seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau,
kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri
dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.
3. Konflik
Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan
dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.
4. Tekanan
Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang
besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala
keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua
yang menginginkan anaknya berprestasi).
AKIBAT STRESS
Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya
stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan,
kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin,
jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur).
Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan
efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya
dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.
REAKSI TERHADAP STRESS
Reaksi seseorang terhadap stress berbeda-beda tergantung dari:
1. Tingkat kedewasaan kepribadian 2. Pendidikan dan pengalaman hidup seseorang
Reaksi psikologis yang mungkin timbul dalam menghadapi stress:
1. menghadapi langsung dengan segala resikonya. 2. menarik diri dan tak tahu menahu tentang persoalan yang dihadapinya/lari dari kenyataan. 3. menggunakan mekanisme pertahanan diri.
PENANGGULANGAN STRESS
Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.
Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.
Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa
yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari
perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain
ya.
Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang
terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.
Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa,
psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).
Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan,
sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi
justru membuka masalah baru.
Selamat mencoba ..........
Mengenal Persepsi, Ilusi, dan
Halusinasi
Kita tentu sering sekali mendengar istilah persepsi, ilusi, maupun halusinasi. Pada ilmu kejiwaan, kata-kata tersebut sangat akrab bagi mereka yang berkecimpung di dalamnya. Tapi apa sebenarnya persepsi, ilusi, dan halusinasi ditinjau dari sisi kejiwaan ?
Persepsi adalah hasil interaksi
antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan sensorik yang tertuju kepada individu
atau seseorang dan faktor pengaruh yang mengatur atau mengolah rangsangan itu
secara intra-psikis. faktor-faktor pengaruh itu dapat bersifat biologis,
sosial, dan psikologis. Karena adanya proses pengaruh-mempengaruhi antara kedua
faktor tadi, di mana di dalamnya bergabung pula proses asosiasi, maka terjadilah
suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat "gambaran psikis".
Ilusi adalah suatu persepsi
panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan
secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang salah dari suatu
rangsangan pada panca indera. Sebagai contoh, seorang penderita dengan perasaan
yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai
suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan
yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi, baik yang
disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi terjadi dalam bermacam-macam
bentuk, yaitu ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan),
gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan).
Halusinasi adalah persepsi panca
indera yang terjadi tanpa adanya rangsangan pada reseptor-reseptor panca indera.
Dengan kata lain, halusinasi adalah persepsi tanpa obyek.
Halusinasi merupakan suatu gejala
penyakit kejiwaan yang gawat (serius). Individu mendengar suara tanpa adanya
rangsangan akustik. Individu melihat sesuatu tanpa adanya rangsangan visual,
membau sesuatu tanpa adanya rangsangan dari indera penciuman.
Halusinasi sering dijumpai pada
penderita
Schizophrenia dan
pencandu narkoba.
Halusinasi juga dapat terjadi pada orang normal, yaitu halusinasi yang terjadi
pada saat pergantian antara waktu tidur dan waktu bangun. Hal ini disebut
halusinasi hypnagogik.
Bermacam-macan bentuk halusinasi
Halusinasi akustik (pendengaran)
Halusinasi ini sering berbentuk :
Akoasma, yaitu suara-suara
yang kacau balau yang tidak dapat dibedakan secara tegas
Phonema, yaitu suara-suara
yang berbentuk suara jelas seperti yang berasal dari manusia, sehingga
penderita mendengar kata-kata atau kalimat kalimat tertentu
Halusinasi visual (penglihatan)
Penderita melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi visual sering menimbulkan ketakutan yang hebat pada penderita.
Halusinasi olfaktorik (pembauan)
Penderita membau sesuatu yang tidak dia sukai. Halusinasi ini merupakan gambaran dari perasaan bersalah penderitanya.
Halusinasi gustatorik (pengecap)
Halusinasi gustatorik murni jarang dijumpai, tetapi sering terjadi bersama-sama dengan halusinasi olfaktorik.
Halusinasi taktil (perabaan)
Halusinasi ini sering dijumpai pada pencandu narkotika dan obat terlarang.
Halusinasi haptik
Halusinasi ini merupakan suatu persepsi, di mana seolah-olah tubuh penderita bersentuhan secara fisik dengan manusia lain atau benda lain. Seringkali halusinasi haptik ini bercorak seksual, dan sangat sering dijumpai pada pencandu narkoba.
Halusinasi kinestetik
Penderita merasa bahwa anggota tubuhnya terlepas dari tubuhnya, mengalami perubahan bentuk, dan bergerak sendiri. Hal ini sering terjadi pada penderita Schizophrenia dan pencandu narkoba.
Halusinasi autoskopi
Penderita seolah-olah melihat dirinya sendiri berdiri di hadapannya.
Penderita Schizophrenia sangat perlu
dikasihani karena penderitaan yang dialaminya. Tetapi mengapa banyak orang
memilih untuk mengubah hidupnya yang indah dan berharga dengan memakai narkoba
dan mengalami berbagai macam gangguan kejiwaan yang serius ? Tak seorangpun yang tahu ...
Inteligensi dan IQ
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar
0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi,
sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka
berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya
0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar
yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi,
walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata
lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi
tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi
oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat
kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah
ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah
dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient,
adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan
demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan
seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental
Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental)
tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada
saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian
dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul
masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi,
bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang
psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang
kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian
direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan
banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan
indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara
mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes
Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh
seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal
dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini
banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa
tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum
saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih
spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence).
Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler
Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler
Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan
yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut
dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat
kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini
memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan,
kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang
disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak
dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak
dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes
bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap
prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test
dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan
Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes
Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE).
Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah
Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena
kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun
demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan
bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai
hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang
diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah
memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi
skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada
skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih
tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat
kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford
menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat
divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya
dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu
kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan
informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional
yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau
kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh
ilmu pengetahuan.
Kecerdasan Emosional
Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan
bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang.
Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat
emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir
dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun
berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ)
yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ
yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ)
dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir
hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga,
dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya.
Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit
didapatkan pada manusia modern, yaitu:
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan
emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula,
orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang
yang ada tanpa membuat masalah yang baru.
|
|
* Dari berbagai sumber di internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar